Penelitian Tindakan Kelas
(PTK) untuk Meningkatkan Hasil Belajar, Perlukah?
Oleh : Isbandi, S.Pd
SMPN 4 Mejayan
Kabupaten Madiun
Mungkin naif mengajukan pertanyaan semacam
itu ditengah-tengah hingar bingar pelatihan,
workshop atau apalah tentang pembuatan PTK. Tapi tak apalah, terhadap satu hal
orang bisa berbeda-beda pendapat dan pandangan. Itu hal yang wajar dan legal,
bukan?
Marilah kita sedikit menoleh kebelakang
untuk kemudian membuka arsip tentang nilai-nilai yang pernah kita berikan pada anak-anak kita,
berapa sih rata-rata nilai raport
siswa kita, khususnya untuk mata pelajaran IPA?
Jika kita melihat nilai rata-rata raport
mulai semester 1 sampai dengan semester 5 tahun pelajaran 2011/2012 kemarin,
terdapat fakta yang menarik. Disuatu sekolah pinggiran –yang jelas pasti bukan sekolah favorit-- nilai terendah untuk pelajaran IPA adalah
6,90, nilai tertinggi 9,07 dengan rata-rata 7,58. Artinya secara umum nilai rata-rata semua
siswa telah melebihi batas nilai terendah untuk tuntas yang disebut dengan KKM
(Kriteria Ketuntasan Minimal). Itu baru sebatas contoh untuk sebuah sekolah
pinggiran yang kualitas anak didiknya jauh tertinggal bila dibandingkan dengan
siswa-siswa sekolah dikota. Untuk sekolah yang lebih besar dan bonafide bisa
jadi nilai terendahnya pasti sudah diatas angka 7,00.
Bila sebuah contoh itu benar dan kondisi
di sekolah lain juga demikian, maka sungguh luar biasa apa yang sudah dicapai
oleh anak-anak kita. Khususnya dalam mata pelajaran IPA.
Dalam lampiran Permendiknas No. 20 tahun 2007 tentang Standar
Penilaian Pendidikan disebutkan Kriteria
ketuntasan minimal (KKM) adalah kriteria ketuntasan belajar (KKB) yang
ditentukan oleh satuan pendidikan. KKM
pada akhir jenjang satuan pendidikan untuk kelompok mata pelajaran
selain ilmu pengetahuan dan teknologi merupakan nilai batas ambang kompetensi.
Artinya seorang siswa dikatakan tuntas
untuk suatu kompetensi pembelajaran apabila telah mencapai nilai minimal sama
dengan nilai KKM (kriteria ketuntasan minimal). Jika dalam contoh diatas KKM di
sekolah itu untuk mata pelajaran IPA adalah 7,3, maka nilai rata-rata raport
7,58 telah melampui nilai KKM-nya. Dan hampir semua siswa telah tuntas, kecuali
barangkali beberapa siswa yang mendapat nilai kurang dari nilai KKM-nya
Bila nilai-nilai itu memang berasal dari
sebuah proses pembelajaran yang normal (sesuai dengan standar proses
pendidikan), dengan menggunakan proses penilaian yang normal juga (sesuai
dengan standar penilaian), maka sungguh hebat proses pembelajaran itu, artinya
pula tak perlu ada metode-metode lain yang perlu diuji atau diteliti untuk
meningkatkan hasil belajar siswa. Menurut saya akan sangat tidak masuk
akal jika metode dalam pembelajaran yang
sudah terbukti menghasilkan anak-anak dengan nilai diatas batas KKM diuji atau
diteliti dengan maksud meningkatkan kembali hasil belajar.
Nilai-nilai yang tertulis di lembaran
raport siswa sudah mengatakan bahwa secara kuantitatif tak ada yang salah
dengan proses pembelajarannya, dengan guru-gurunya, juga dengan metode atau
pendekatannya. Maka ngapainlah kita buang-buang waktu, energi dan biaya untuk
membuat PTK yang tidak jelas kemanfaataannya, khususnya bagi anak didik
kita.
Dengan kata lain guru tak perlu sebuah
metode yang baru, sebab dengan metode yang selama ini mereka lakukan sudah
kelihatan hasilnya. Anak-anak selalu
tuntas, nilai selalu bagus dan selalu naik kelas. Pada akhirnya anak-anak kelas
9 sudah siap dengan UNAS model yang sekarang, juga dengan model apapun nanti,
karena mereka telah mempunyai modal yang bagus yaitu nilai rapot yang bagus. Toh, faktanya selama ini semua anak-anak
kita juga semua naik kelas, semua lulus. Kecuali beberapa siswa yang gagal yang
lebih disebabkan oleh faktor lain diluar kemampuan akademik.
Maka jika kemudian membuat PTK menjadi
sebuah keniscayaan maka PTK itu harusnya
meneliti tentang minat dan harapan siswa terhadap suatu materi dalam mata pelajaran. Atau hal-hal lain yang
bersifat kualitatif. Walaupun topic itu juga masih bisa diperdebatkan
urgenitasnya. Bagaimana tidak, jika seorang siswa memperoleh nilai yang bagus,
secara otomatis pasti siswa itu menaruh minat yang tinggi dan minat yang baik
terhadap materi yang sedang pelajari, Pasti siswa itu juga mempunyai tanggapan
yang baik pula terhadap guru dengan segala gaya dan metodenya. iya kan?
Di tahun 2013 dengan adanya aturan
baru tentang Penilaian Kinerja Guru, lepas dari alasan jadi apa tidak, ke depan
guru memang dituntut untuk lebih aktif dan kreatif. Paling tidak guru akan menghadapi penilaian
kinerja guru yang katanya
penilaiannya lebih komprehensif untuk menyaring guru-guru yang ‘mampu’ (secara finansial sehingga mempunyai daya
‘beli’ yang tinggi terhadap apapun), dan guru yang benar-benar mampu (secara pedagodik, professional dan idealis).
Konsekuensinya guru yang benar-benar mampu
akan merasakan kenaikan jenjang karier yang lebih baik. Pangkat lebih baik, dan
tentunya pendapatan yang lebih baik. Dan salah satu prasyarat yang harus
dikuasai oleh guru adalah kemampuan menulis karya tulis bisa berbentuk opini,
artikel, atau hasil penelitian.
Maka dengan demikian, apakah sebuah PTK
hanya akan berhenti sebagai prasyarat pelengkap kenaikan pangkat pada jenjang
karier seorang guru? Tergantung masing-masing guru menyikapi.
Berarti perlukah membuat sebuah PTK,
jawabannya juga tergantung alasan mana yang akan kita kedepankan sebelum
membuat PTK. Apakah alasan keprofesionalan kita sebagai seorang guru dan
idealism kita sebagai pendidik, atau sekedar sebagai syarat untuk kenaikan
pangkat, untuk peningkatan karier, peningkatan status social di masyarakat.
Menurut saya, menulis dan membuat PTK
tetap perlu dilakukan. Tapi tema yang
harus diteliti harus yang bersifat kualitatif dan bukan kuantitaif. Juga bukan
metode untuk meningkatkan nilai hasil belajar, tapi lebih pada metode-metode atau pendekatan yang meningkatkan
minat dan gagasan atau ide untuk kreatifitas dan karakter anak didik. Tema-tema
semacam itu saya kira akan cukup baik dan bisa menjadi jawaban dari
persoalan-persoalan yang dihadapi banyak siswa kita diluar urusan akademis.
Jika kita tarik benang merah dari banyak
kasus yang melibatkan siswa-siswa kita baik dalam perkelahian, kasus narkoba,
pelecehan seksual dll, kita harus tahu diri, bahwa beban belajar di kelas yang
dihadapi anak-anak kita terlalu berat. Tugas-tugas, tuntutan yang harus diselesaikan
terlalu banyak yang menyebakan secara psikologis anak-anak kita lelah, dan
stress. Dalam situasi dan kondisi semacam ini bila tak tertangani secara baik
oleh orang tua dan khususnya juga guru, maka anak-anak akan mencari
penyelesaiannya sendiri dengan caranya sendiri. Jadilah kasus-kasus semacam itu
merebak, mengancam tidak saja masa depan anak-anak kita tapi juga masa depan
bangsa kita. Apa kata dunia, jika
anak-anak muda tunas bangsa sudah layu dan mati sebelum berkembang dewasa?
Maka kita perlu menguji dan mengkaji
metode atau pendekatan-pendekatan pembelajaran kita itu, sudahkah metode atau
pendekatan dalam pembelajarn kita itu ramah anak? Tidak membebani pikiran dan
psikologis anak? Tidak membuat anak bertambah stress?
Saya kira penelitian semacam itu yang
sangat urgen dan penting yang harus bisa dilakukan oleh guru. Lepas dari
kebutuhan sebuah PTK untuk kenaikan pangkat atau motivasi-motivasi yang lain,
Melainkan meneliti, menulis untuk kebaikan anak-anak didik kita, masa depan
kita. Kita perlu merekonstruksi pola-pola didik, metode-metode,
pendekatan-pendekatan yang menyenangkan, yang disukai dan dirindukan anak-anak.
Metode yang membuat anak-anak betah dan selalu merasa kehilangan jika tidak
berada di sekolah. Metode yang ‘seolah-olah’ tidak membebani tapi tujuan
akhirnya juga tercapai.
Hal ini menjadi tantangan yang harus
dijawab oleh guru, baik yang sudah sertifikasi atau yang masih antri, baik yang
mau naik pangkat atau yang sedang menikmati pangkatnya. Masa depan anak didik
kita adalah masa depan kita juga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar